Kutunggu di Pintu Akhirat
Pagi itu langit cerah. Gumpalan awan putih nampak bertebar membentuk
suatu formasi yang indah jika dilihat lebih seksama. Namun tidak seperti
kemarin, jika pandangan diarahkan jauh ke utara, puncak Gunung Slamet
yang biasanya terlihat jelas, kini tenggelam tersaput awan.
Sebuah angkutan umum trayek Kalisari – Karangtengah – Curug Cipendok
bergerak menuju utara dengan kecepatan sedang. Angkutan umum itu melaju
mulus tanpa gangguan karena memang jalan utama menuju Curug Cipendok ini
sudah diperbaiki.
Seorang dara berparas cantik elegant duduk di kursi bagian depan
dekat dengan sopir. Matanya yang bersih sesekali menatap ke luar jendela
memandang apa saja yang dilewati. Dara ini memakai kemeja lengan
panjang kotak-kotak dipadu celana jeans. Rambutnya diikat ke belakang
seperti ekor kuda. Di lehernya yang jenjang tergantung sebuah kamera
digital. Sebuah tas ransel yang terlihat menggembung sarat barang-barang
terbaring di pangkuannya. Agaknya tas yang sudah tak muat itu masih
dipaksa dijejali sesuatu hingga terlihat begitu menggembung.
“Mau ke Curug Cipendok neng?” bertanya sopir di sebelah sang dara.
“Iya pak sopir…” jawab dara ramah dan penuh semangat. “Apa lokasinya
masih jauh…?” dara itu panjangkan lehernya, menatap jauh-jauh ke depan
seolah mencari-cari tempat tujuannya.
“Sebatang rok*k lagi neng…” ujar si sopir sembari menyalakan rok*k Tapal Kuda.
Sang dara mengangguk. Lantas kembali layangkan pandangan ke luar jendela.
Dara manis berparas elegant itu bernama Dewi. Seorang Mahasiswi
Unsoed yang tengah mengisi liburan kuliahnya dengan memilih berwisata ke
sebuah curug di Kecamatan Cilongok bernama Curug Cipendok. Dipilih
Curug Cipendok karena memang dia belum pernah ke tempat itu, juga atas
rekomendasi teman-temannya.
“Sendirian saja neng?” sopir bertampang kumal itu kembali membuka
mulut setelah lebih dulu menghembuskan asap rok*knya jauh-jauh. Ruangan
angkutan umum itu kini praktis dipenuhi asap rok*k. Beberapa penumpang
lain di belakang terdengar batuk-batuk.
“Betul pak sopir, saya cuma sendiri.” jawab Dewi seraya menutup hidung
dan mulutnya dengan tangan kiri merasa terganggu dengan asap rok*k yang
membuncah didepan wajahnya.
Setengah perjalanan sudah dilalui angkutan bobrok itu. Memasuki
pertinggaan Manggala, sebelum angkutan belok kiri mengambil jalur Curug
Cipendok, beberapa penumpang di belakang turun. Lepas dari pertigaan
Manggala permukaan aspal bisa dibilang rusak. Lobang besar di mana-mana.
Dewi memekik ketika angkutan itu berkali-kali menggelinjang sebab ban
roda angkutan terperanyak menggerus lobang-lobang celaka itu.
Lebih dari sepelemparan batu meninggalkan pertigaan Manggala, kontur
jalan kini menanjak luar biasa. Hawa yang tadi panas pengap berdebu kini
perlahan sejuk. Pemandangan di pinggir jalan mulai berubah. Nuansa alam
yang segar mulai terasa.
Akhirnya angkutan itu berhenti di depan gerbang masuk Wanawisata
Curug Cipendok tepat hisapan terakhir rok*k sang sopir. Rok*k yang telah
pendek itu dicampakannya keluar jendela. Melihat hal ini Dewi bergumam
dalam hati. “Tidak dinyana sopir kumal ini bisa dipegang kata-katanya.”
teringat lagi kata-kata sopir ketika dirinya menanyakan berapa jauh
lagi. “Satu batang rok*k lagi neng…”
Gadis ini menengok ke belakang. Dia terkejut, bangku-bangku yang tadi
dipenuhi penumpang kini kosong melompong. Hanya dia kini dengan sang
sopir. Si sopir yang mafhum apa yang ada di benak sang dara buru-buru
berkata. “Penumpang-penumpang di belakang sudah turun di perkampungan
terakhir tadi. Sesuai trayek angkutan saya, seharusnya saya sudah
berhenti di Grumbul Lebaksiu dan kembali lagi ke pangkalan. Kecuali jika
neng mencarter saya. Tapi saya kasihan sama neng jika harus jalan kaki
dari perbatasan, bisa-bisa semaput duluan sebelum sampai ke pintu
masuk.”
“Ah, terimakasih banyak pak sopir… pak sopir tidak hanya jujur tapi juga
baik hati!” Dewi menyeringai girang, ketika menyeringai, wajah gadis
ini bertambah amat manis oleh gigi gingsulnya.
Dewi kemudian turun. Membayar sejumlah ongkos kendaraan sambil
berkali-kali menjura menghaturkan terimakasih. Si sopir memutar balik
angkutannya.
“Selamat berlibur neng…!” katanya sambil berlalu. Seringai lucu tak ketinggalan tersungging di wajahnya yang kumal.
“Sekali lagi terimakasih pak sopir…!!” teriak Dewi seraya melambaikan tangan.
Angkutan umum itu meluncur di jalan yang menurun tajam untuk kemudian lenyap di sebuah kelokan.
Gerbang masuk Wisata Curug Cipendok bisa dibilang berbeda dengan
gerbang lain pada umumnya. Atap gerbang ini menyerupai atap sebuah
pendopo khas Jawa. Gerbang ini berdiri di atas jalan yang melebar. Di
tengahnya terdapat loket petugas tiket yang membelah jalan menjadi dua
jalur.
Dewi langkahkan kakinya menuju loket itu. Seorang pria tua enam puluhan segera menyambutnya dengan senyum ramah.
“Sugeng rawuh Mbak, ada yang bisa dibantu?” sapa penjaga tiket itu dengan cengkok Banyumas yang begitu mencolok.
Dewi balas senyum dan anggukkan kepala. “Iya bapak saya butuh satu tiket..”
Tak lama Dewi membeli tiket di loket itu. Sebelum lanjutkan perjalanan
dia sempatkan bertanya: “Dari sini ke curug berapa jauh bapak?”
“Ndak jauh-jauh amat kok Mbak, dari sini ke parkiran kendaraan satu
kilometer. Dari lokasi parkir ke curugnya cuma lima ratus meter Mbak.”
menjelaskan bapak tukang tiket.
Dewi terkesiap. Harus jalan satu kilo lagi? Membatin sang dara.
Melihat reaksi dara di depannya, penjaga tiket berwajah ramah itu
menenangkan. “Ndak usah khawatir capek Mbak. Pemandangan sepanjang jalan
saya jamin membuat waktu tidak terasa…”
Setelah menyemangati diri Dewi akhirnya bergerak menuju utara.
Tidak salah apa yang dituturkan petugas tiket itu. Pemandangan
sepanjang jalan cukup memanjakan mata. Pohon-pohon rindang
berjajar-jajar di pinggir jalan menyapa setiap langkah Dewi. Meski butuh
sedikit keringat untuk sampai ke kawasan parkir, Dewi tidak menyesal.
Tempat ini dan segala keasriannya melupakan lelah yang dia rasa.
Akhirnya sampailah Dewi di area parkir Wanawisata Curug Cipendok.
Saat itu adalah musim liburan, cukup banyak kendaraan terparkir di sana.
Beralih dari deretan kendaraan yang tertata rapi karena mungkin
pengelola menerjunkan juru parkir untuk mengaturnya Dewi dapati jalan
kini berupa bebatuan.
Tak kurang dari sepenanakan nasi menyusuri undakan bebatuan, Dewi
jumpai beberapa warung makan. Jalan satu kilometer serta terik matahari
yang hampir pada pada titik tertingginya membuat tenggorokan Dewi terasa
sangat kering. Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi berniat membasahi
kerongkongan. Matanya tertuju pada sebuah warung yang sedang lengang, ke
sanalah gadis ini melangkah.
Dewi memilih tempat duduk yang kosong sembari memesan makanan ke
pemilik warung. Dua pria tua di sudut warung yang sejak tadi ngobrol
asyik sembari makan mendoan sesaat terhenti melihat kedatangan sang
dara. Keduanya hanya memandang sebentar kemudian melanjutkan obrolannya
yang sempat terhenti. Dua pria ini umurnya lebih dari enam puluh,
dilihat dari kulit di beberapa bagian wajahnya yang kendor membentuk
lipatan. Wajah mereka sama kusam pertanda sering terpapar sinar matahari
dan asap kendaraan. Masing-masing dari mereka mengenakan rompi, satu
oranye satu kuning. Di belakang rompi itu tertera tulisan: PARKIR
Tidak seperti hari biasa yang mustahil dijumpai juru parkir, ketika
musim liburan kendaraan pengunjung cukup membludak. Karenanya, Pengelola
Objek Wisata menugaskan dua orang juru parkir untuk menjaga ketertiban
kendaraan.
“Benarkah Lardi, kabar yang kusirap, satu arwah dari satu keluarga
korban penembakan biadab itu muncul lagi di sekitar curug?” berkata pria
berompi oranye. Namanya Sirdin.
“Entahlah Din, aku belum membuktikan sendiri. Tapi kabar yang beredar di
masyarakat memang begitu.” Menimpali orang bernama Lardi.
Warung yang disinggahi Dewi terbilang kecil. Obrolan dua orang itu tak dapat tidak singgah di telinga si gadis.
“Memang memilukan jika teringat lagi pembunuhan biadab dua tahun lalu
itu…” tutur Lardi sambil mengunyah mendoan. “ Entah dosa apa yang
dilakukan Djarot Pangestu hingga dirinya sekeluarga ditembak begitu
rupa.”
Sirdin manggut-manggut. Diseruputnya kopi di depannya kemudian membuka
mulut. ”Benar, setahu kita sebagai warga Karangtengah, almarhum adalah
orang baik-baik. Tidak mempunyai silang sengketa dengan siapa pun
apalagi musuh…”
“Andai saja malapetaka itu tidak menimpa beliau, pasti desa Karangtengah
bisa lebih baik dibawah pimpinan beliau…” ujar Lardi pula.
“Ah bicara soal pemimpin desa kita sekarang, manusia bernama Samkosim
tengik itu memang tak layak jadi Kepala Desa! Perubahan apa coba yang
dilakukan selama ini…? Yang ada desa kita tambah bobrok! Beberapa
pembangunan prasarana sosial yang dia gebrak di awal-awal, mogok
terbengkalai… jalan utama desa kita aspalnya sudah amburadul tak
tersentuh. Aku jadi tak habis fikir, kenapa dirinya diangkat jadi Kepala
Desa setelah jelas-jelas kalah telak dari Djarot Pangestu…”
“Nampaknya ada yang janggal dari pengangkatan Samkosim. Aku curiga ada
satu rahasia di balik pengangkatannya, kita ketahui dia sangat berambisi
menduduki jabatan itu dulu. Politik uang secara licik dia lakukan
secara diam-diam. Tapi Gusti Allah memang adil. Segala sesuatu yang
bathil tidak dapat apa-apa kecuali kerugian. Kau tahu kabar setelah dia
kalah suara dari Djarot dulu?” Lardi bertanya pada kawan di depannya
dengan suara direndahkan. “Dia diketahui stress! Siapapun yang ada di
depannya hendak di bunuh. Tapi biarlah segala sesuatu yang telah berlalu
lama tak perlu dipikirkan lagi.”
Dewi meneguk minumannya cepat-cepat tanpa ambil perhatian dengan obrolan
dua tukang parkir yang terlihat serius itu. Gemuruh air terjun yang
tingginya hampir seratus meter itu sayup-sayup menderus di telinganya.
Dewi bergegas membayar minuman itu setelah sebelumnya menyambar tas yang
dia letakkan di samping kursi dan akhirnya menghambur ke utara.